CONTOH KASUS KEWARGANEGARAAN
1. Liong Solan duduk
terpekur. Di hadapan wanita 58 tahun itu terserak fotokopi Kartu Keluarga (KK)
dan KTP WNI. “Ini sudah ditarik,” tuturnya. “Katanya tidak sah.” Raut
kebingungan tersirat jelas di wajahnya. Sebagai ibu rumah tangga tanpa
mengecap bangku sekolah, Solan tak paham tentang kewarganegaraan,
undang-undang, dan serangkaian peraturan yang menyertainya. Ia hanya tahu
bahwa ia lahir dan menetap di Indonesia. Ia bingung mengapa sulit dan mahal
mengurus dokumen sebagai WNI.
Siang itu, di rumah berlantai tanah berukuran 3×5 meter di
bilangan Jakarta Pusat, Solan mengisahkan keresahannya. Terlahir di Jakarta
dari ayah seorang warga negara Tiongkok dan ibu “Cina Benteng”, seumur hidup
Solan tak pernah punya KTP WNI. Sebuah fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemda
Chusus Ibukota Jakarta mencantumkan kewarganegaraannya sebagai “tanpa
kewarganegaraan”.
Kartu yang habis masa berlakunya pada 1971 itu menjadi
andalannya untuk semua urusan administrasi. Akta lahir dan dokumen lain tidak
ia miliki. Ketika ayahnya memutuskan pulang ke Tiongkok sebagai dampak PP
No.10/1959, sekeluarga berrencana dibawa serta. Ibunda Solan, Gouw Em Nio,
pun memilih kewarganegaraan Tiongkok. Apa daya, mereka tak kebagian kapal.
Itulah terakhir kalinya Solan melihat sang ayah yang kapalnya karam dalam pelayaran
ke Tiongkok. Kewarganegaraan Gouw Em Nio dan anak-anaknya pun terkatung-katung
karena tidak pernah lagi diurus. “Saya pernah coba ikut bikin SBKRI
tahun 1980 dan 1996, tapi gagal,” terangnya. “Nggak ada duit-nya.”
Dalam kebingungannya, pada 2003 Solan mengadu ke Komisi
Ombudsman Nasional. Berbekal surat pengantar RT dan KK Kelurahan Mangga Dua
Selatan yang ia miliki setelah menikah dengan suami yang juga tanpa dokumen
kewarganegaraan. Ia mengeluhkan mengapa membuat
KTP sulit dan harus membayar mahal. Selang sebulan, Komisi Ombudsman
menindaklanjuti dan menemukan fakta bahwa ia tak tercatat dalam master data
penduduk Kelurahan Mangga Dua Selatan.
Singkat cerita, datanglah oknum pegawai kelurahan menawarkan
memproses KTP berikut KK dengan biaya satu juta rupiah. Solan menawar dua
ratus ribu rupiah, jumlah yang ia sanggupi. Setelah tawar-menawar alot,
akhirnya disepakati harga empat ratus ribu rupiah. Dalam keluguannya, Solan meminta
kwitansi pembayaran yang tentu saja tidak diberi.
Setelah KTP dan KK-nya selesai pada
Januari 2006, Solan mendengar Gubernur Sutiyoso mengatakan bahwa biaya pembuatan
KTP gratis.
Maka Solan pun menulis surat kepada
Sutiyoso, menceritakan bagaimana proses pembuatan KTP dan KK-nya yang begitu
mahal plus mempermasalahkan mengapa ia tidak diberi kwitansi. Kasus ini
akhirnya menjadi masalah besar. Gubernur Sutiyoso mengusut oknum pegawai
kelurahan tersebut. Akhirnya oknum tersebut ditindak. Uang empat ratus ribu
milik Solan dikembalikan. KTP berikut KK Solan ditarik karena dianggap tidak
sah. Solan pun diminta menandatangani surat perjanjian bahwa ia takkan
mempermasalahkan kasus ini lagi.
“Jadi sekarang saya harus bagaimana?”
isaknya. “Mengapa tidak dikatakan saja dari awal kalau saya tidak bisa mengurus
KTP dan KK, beritahu saya bagaimana cara yang benar dong...”
Kasus Liong Solan adalah salah satu contoh rumitnya masalah
kewarganegaraan di Indonesia. Indradi Kusuma dari Institut
Kewarganegaraan Indonesia (IKI) menyatakan masalah ini sudah bercampur antara
ruwetnya sejarah, perilaku diskriminatif, tidak taat pada peraturan, dan unsur
korupsi.
Memahami mengapa masyarakat keturunan Tionghoa mengalami
kerumitan ini, memaksa kita menoleh kembali ke masa lalu, masa-masa awal
kelahiran republik ini.
Komentar : penyelesaian masalah kewarganegaraan
penduduk keturunan asing di Indonesia melibatkan tiga unsur. Pertama,
struktur sistem hukum, yaitu institusi yang berwenang dalam menentukan status
kewarganegaraan serta yurisdiksi atau wewenangnya. Kedua adalah substansi
hukum, meliputi aturan, norma, produk, dan keputusan hukum. Yang terakhir
adalah budaya hukum yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum,
pemikiran, nilai, kebiasaan, cara berpikir serta bertindak, baik dari aparat
maupun masyarakatnya.
Sebuah kenyataan bahwa di Indonesia
ketiga unsur ini masih berjalan timpang
2.
Menteri Hukum dan HAM
Hamid Awaluddin menyatakan bahwa anak yang lahir di Indonesia dari perkawinan
silang ibu (Indonesia) dan ayahnya (WNA) adalah warga Indonesia hingga batas
umur 18 tahun.
Komentar :
"Jadi,
anak yang dilahirkan di negeri ini berhak menyandang warga negara Indonesia,
meski pun bapaknya berasal dari Amerika, Jerman, Australia, Cina dan WNA
lainnya," ungkapnya pada seminar kebangsaan di Makassar, Selasa.
3. Indonesia
menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti
ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :
komentar:
Menjadi warganegara
Indonesia Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita
warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun
1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat
memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan
kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih
dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya
yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai
negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun
suami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar